Basic Philosophy

                                                          Paradigma Dasar


   Induktif Benar dan Deduktif Salah



      Dalam sebuah penelitian yang paling dasar yang harus diperhatikan dalam berfikir adalah : metode berfikir yang menggunakan metode Deduktif sangat berbahaya karena dapat memicu munculnya Dogma, Subjektifitas, Salah Tafsir, Menghayal, Mengira-ngira, dan Kaburnya Pandangan. Metode berfikir seharusnya dilakukan dengan cara Induktif.

       Metode berfikir ada dua yaitu Deduktif dan Induktif, metode Deduktif adalah metode yang memaparkan hal yang umum terlebih dahulu kemudian disusul oleh penjabarannya dalam bentuk khusus. Sebaliknya, metode Induktif dilakukan dengan cara memaparkan terlebih dahulu hal-hal yang berbau khusus kemudian diambillah sebuah kesimpulan.

          Untuk meneliti apapun itu pertama yang dilakukan adalah menjabarkan premis sebanyak dan selengkap-lengkapnya kemudian baru setelah itu diambil sebuah kesimpulan yang mencakup seluruh premis yang ada secara tak terkecuali, jika kesimpulan bertentangan dengan salah satu premis maka kesimpulan itu tidak valid.

Dalam Penelitian Tak Ada Kata Dogma

        Dogma hanya berasal dari insting, pengalaman, subjektifitas dan sebagainya, dogma bersifar saklek dan terkesan (sangat benar, paling benar, pasti benar). Mengingat bahwa alam semesta tak terbatas, sangat dinamis dan multi dimensi maka tak ada tempat bagi dogma.

Pentingnya Netralitas
      Manusia mempunyai sisi insting, emosi, perasaan, hayalan, subjektifitas dan sebagainya dan di sisi lain manusia mempunyai sisi logika, nalar, rasio, objektifitas dan sebagainya. Manakah yang harus dipilih? atau lebih condong kemanakah kita seharusnya? Sebaiknya kita tak terlalu terikat dengan salah satu sisi tetapi kita tetap netral dan merangkul kedua sisi.

     Alam semesta luas tak terbatas dan sangat dinamis, tak ada istilah tetap atau fix di dunia ini. Sementara itu indra kita adalah sesuatu yang serba terbatas. Kita hanya bisa mendengar suara dalam range frekwensi tertentu saja sementara range frekwensi yang ada di alam ini besarnya tak terbatas, frekwensi radio dapat ditangkap oleh radio tapi tak dapat ditangkap oleh indera kita. Jadi jika kita hanya terpaku pada satu titik di dalam suatu rentang yang tak terbatas maka kemungkinan untuk membuat suatu kesalahan menjadi sangat besar.
Keterikatan dan Keantian Menghadirkan Kebutaan
     Sebuah keterikatan selalu menghadirkan kebutaan, terikat pada salah satu sisi bukanlah sebuah tindakan yang bijaksana. Contohnya seseorang yang sangat terikat pada partainya dan sangat anti pada partai rivalnya, sebut saja namanya Mr.X jika ada informasi yang mengatakan kalau salah satu teman separtainya Mr. X korupsi maka Mr. X akan sulit untuk mempercayainya, begitu juga jika ada orang yang berasal dari partai rivalnya diinformasikan korupsi maka Mr. X akan curiga dan menuduh rivalnya itu secara berlebihan. Sedangkan pada kenyataanya, teman dan rivalnya Mr. X memang benar korupsi. Keterikatan yang sangat tinggi tak jauh berbeda dengan Anti yang sangat tinggi. Kedua hal itu sama-sama membutakan daya pandang kita.
Terlalu Subjektif itu Cenderung Membuat Kita Keliru
       Subjektifitas itu cenderung menjerumuskan orang untuk tertipu dan keliru, misalnya Mr. X sangat percaya dengan Mr. Y karena mereka sudah lama kenal. pada suatu ketika Mr. Y terbelit hutang dan sangat membutuhkan uang, Mr. Y meminjam uang kepada Mr. X. Mr. X memberikan saja Mr. Y meminjam uang dalam jumlah yang besar karena Mr. X memiliki feeling kalau Mr. Y tak akan berani menipu. tapi ternyata Mr. Y kabur dan tinggal di tempat lain. Contoh yang lain, misalnya si John sering berbohong dan menipu, ketika ada sesuatu barang yang hilang maka semua akan mecurigai si John, bahkan ada yang tanpa bukti langsung menuduh si John yang mencuri padahal sesungguhnya bukan dia yang mencurinya.  Dalam meneliti sesuatu kita harus benar-benar mempunyai bukti.
Terlalu Objektif Membuat Kita Kaku
       Terlalu objektif juga tidak bagus. Mengingat bahwa alam semesta tak terbatas luas dan dimensinya maka terpaku pada hanya pada apa yang indera kita bisa jangkau dan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran bukanlah sesuatu yang bijak. Mungkin saja hantu itu ada yaitu merupakan sebuah badan astral, mungkin saja hukum karma itu ada, mungkin saja kalau pamali itu memang benar dan mempunyai pola jika diuji dengan menggunakan statistik. Ada banyak hal yang berada di luar jangkauan indra kita. 

Mata Melihat Apa Yang Ingin Dilihat
          Mata kita atau persepsi kita cenderung melihat apa yang ingin kita lihat, sedangkan yang tak ingin kita lihat kita abaikan atau menjadi samar-samar. Seperti misalnya contoh, kita biasanya menaruh kunci di atas lemari namun pada suatu saat karena suatu dan lain hal kita menaruhnya di atas lantai, ketika kita tergesa-gesa dan ingin segera mengambil kunci, kita meraba-raba diatas lemari namun tak ketemu-ketemu. Kemudian datang teman kita dan dia bertanya "apa yang kau cari?", "kuci motor". dia melihat ke lantai dan menunjukkan kuncinya. Padahal mata kita sebelum kita mencari kunci itu sudah melihat kunci itu atau dengan kata lain bayangan sinar matahari atau lampu sudah memantul lewat kunci itu dan mengenai mata kita namun kita tak menyadari itu karena yang ada di persepsi kita kalau kunci itu ada di atas lemari.
Merasa Sudah Tahu Mutlak : Tak Dapat Menerima Informasi Tambahan
       Persepsi itu seperti sebuah kendi. Jika dia merasa sudah tahu betul maka kendi itu penuh berisi air, jika dia merasa belum tahu maka kendi itu kosong, jika dia mempunyai rasa ingin tahu yang sangat besar maka kendi itu kosong dan kering. Jika kendi sudah penuh maka orang tersebut sedang mabuk ego dan sulit untuk mendapatkan ilmu pengetahuan baru yang lebih inovatif, sangat sulit untuk memasukkan air ke kendi tersebut. jika kendi itu berisi sedikit atau kosong maka dia dapat menyerap ilmu baru atau kendi itu bisa diisi air dan jika kendi itu kering maka air itu bukan hanya bisa dituangkan ke dalam kendi tapi juga dihisap.

No comments:

Post a Comment